11 Juni 2011

Trip Ciamis, pesona indahnya negeri yang ciamik (part 1)

Jam menunjukkan jam 15.30 WIB, segera kututup laptop, hari itu jum’at tanggal 13 April 2011, aku harus pulang kerja lebih cepat, hanya berbekal ijin mulut teman-teman sekantor aku pulang ke kost lebih cepat. Sesampai di kost, packing sudah siap tinggal mengecek apa-apa yang kurang sebelum berangkat. Aku minta teman kost mengantarku ke stasiun Gubeng, kurang lebih 5,9 KM (menurut googlempas) dari kostku. Jam 16.00 WIB sampai juga di stasiun, untunglah tidak terlambat, kulihat tiketku, keberangkatan masih 30 menit lagi, kuangkat telponku untuk menghubungi temanku buchari, - Leader trip -, akhirnya ketemu di jalan masuk. Beberapa menit kmudian, Rezi - kenalan buchari -, datang. Dan, terakhir Nanik, -teman buchari-. Kamipun akhirnya berkenalan sebelum berangkat 5 menit kemudian.


Kulihat sekali lagi tiketku, aku akan menempati gerbong 4, tepatnya di nomer duduk 13 B. Si Rezi di gerbong 5. Buchari dan Nanik awalnya aku tak tahu di gerbong mana, setelah ku sms, ternyata di deret bangku belakang masih dalam gerbong yang sama dengan aku. Tepat pukul 14.30 WIB, peluit panjang kereta api mutiara selatan melengking pertanda perjalanan panjang dan menjenuhkan segera dimulai. Aku duduk bersebelahan dengan seseorang yang kemudian kukenal dia bekerja di kota ini, asalnya dari bandung. Karena kebetulan libur panjang dia pulang ke rumah, melepas kangen pada anak dan istrinya. Ada teman ngomong asyik juga, dia bercerita tentang pekerjaannya sebagaiengineer sebuah perusahaan bidang telekomunikasi subcon dari provider ZTE. Aku hanya bisa mantuk-mantuk ketika dia bercerita seputar teknologi telekomunikasi, hmmm, asyik juga dapat ilmu baru nih pikirku. Tak terasa, malam mulai merambat, ketika sampai jam 9 malam, mataku mulai lelah seakan ingin segera mengatup, setelah kutunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, rasanya tanpa sadar telah melewati mimpi yang panjang, yang entah aku lupa untuk mengingatnya.

Satu per satu kota terlewati di antara suara derit roda besi dan gemuruh gerbong yang bergoyang. Beberapa kali mata ini terjaga ketika melewati solo, jogja dan kroya (cilacap). Aku kawatir jangan-jangan kelewatan stasiun banjar, di mana kami berempat seharusnya turun. Akhirnya, kucari ke bangku bukhari, ah, dia masih tertidur, kutowel untuk menanyakan masih seberapa jauh stasiun yang kami tuju. Ternyata masih beberapa stasiun lagi. Ketika jam menunjukkan pukul 3.00 WIB, suara derit rem kereta berderit menghentikan laju sampai di stasiun banjar. Segera kamipun berkemas, turun dengan tas yang berat di pundak-pundak kami.

Masih terlihat sepi di stasiun itu, meskipun begitu ada beberapa penumpang yang juga turun membawa tas dan bungkusan-bungkusan besar, entah apa yang tentu saja kami tak perlu tahu. Sejenak setelah turun para tukang becak, ojek, angkot menawarkan jasanya ke kami. Kami hanya bergeming, karena kami menunggu saat subuh datang, dan juga tentu melemaskan kaki-kaki yang mengkerut dan bokong yang panas karena terlalu lama duduk di gerbong kereta. Kamipun kemudian menyapa penjual minuman, sembari membeli minuman, kami bertanya arah ke cijulang. Kami mendapatkan informasi yang kemudian kami sesali, bahwa kita kalau mau ke Cijulang mesti ke terminal, untuk mendapatkan bis kota. Sedangkan kalau ke terminal katanya kita masih harus jalan sekitar 2 Km, oh jauh banget pikir kami. Akhirnya Leader tim (buchari) memutuskan kami harus naik becak ke terminal. Setelah subuh, kami segera mencari becak yang akan membawa ke terminal banjar. Sedikit proses tawar-menawar harga, sepakat harga 15.000,- per becak dengan diisi dua orang. Kamipun berangkat dengan dua becak menuju terminal, setelah beberapa meter, melewati jembatan, si abang becak melambai ke arah bis, oh.. ternyata kami tak harus ke terminal untuk mendapatkan bis. Sebenarnya antar senang dan gondok, senang karena cepat dapat bis, gondok karena hanya beberapa meter saja (mungkin hanya 100 meter), harga 15.000,- tidak bisa turun ditawar. Yang lebih membuat kami tertawa geli, ternyata itu bis melwati tepat jalanan di depan stasiun, yang sebenarnya bisa kita tempuh hanya dengan berjalan kaki kira-kira 20 m. Betapa bodohnya kami, tapi ya sudahlah, mungkin itu rejekinya si Mang Becak, dan itu membuat kami dapat pengalaman baru.

Di atas bis kota, yang boleh di kata bis tua, dengan berbagai muatan orang-orang yang hendak ke pasar, bahan makanan dan aneka barang yang berkarung-karung penuh sesak bertumpuk di kursi belakang. Aku yang duduk di kursi dua dari belakang, hampir saja tertimpa barang-barang itu seandainya tak ada orang di belakangku yang menahan barang-barang yang hampir jatuh itu. Kurogoh uang 100 ribu untuk empat orang ketika Pak Kondektur menagih ongkos perjalanan, ‘25 ribu per orang’ katanya, yang berarti pas. Detik berganti detik, menit berganti menit, berganti jam, para penumpang turun naik dari dan ke pasar. Hingga menjelang jam 7, penumpang berganti dengan anak- anak sekolah berseragam coklat pramuka, berdesak, berdiri, berjejal di jalan tengah deret bangku bis. Sudah 2,5 jam ketika kami melewati plang selamat datang di Pangandaran, tercium aroma khas laut dengan pantai yang panjang, tapi kami tidak ke pantai pangandaran, kami harus terus berjalan melewati untuk menuju terminal Cijulang. Berkali-kali, mata ini terkantuk-kantuk sembari mendengarkan musik mp3 dari handphone yang tidak bosen diputar beratus-ratus kali dengan kombinasi lagu yang sama. Jalanan mulai tidak bersahabat sebenarnya sejak keluar dari kota banjar, tetapi jalan yang ini, jalan Pangandaran - Cijulang benar-benar hancur, berlubang, berbatu dan berlumpur, dan ada jalan yang mulai dikeruk untuk segera diperbaiki. Rasanya kantuk ini benar-benar hilang, ganti menikmati jalanan bergelombang serasa naik kuda pacu. Pukul 8.30, bis sudah mulai memasuki terminal Cijulang, dan bis berhenti di parkiran terakhir. Yeah,,, akhirnya kami sampai juga.

Tidak ada komentar: