Sudah hampir empat bulan lamanya, hutan meranggas, dedaunan rontok, ranting-ranting mengering berjatuhan dan air-air kubangan serta sungai yang biasanya jernih tiba-tiba mengeruh hingga akhirnya tak menyisakan setetes pelepas dahaga. Hutan rumah sang satwa semangit menyemping dan mulai tandus sejak penebangan liar oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Kini kawanan hewan berbondong-bondong beremigrasi ke daerah yang lebih subur, ya mungkin tidak semua akan selamat karena perjalanan jauh bermil-mil ditempuh tanpa makan dan harus berpuasa berhari-hari.
Tersebutlah dalam rombongan itu seekor kancil dan seekor Luwak yang keduanya adalah sahabat karib sejak kecil.
"Luwak.." panggil Kancil pada Luwak
"Ya, ada apa cil", sahutnya
"Kita mesti berpisah dari rombongan"
"Kenapa cil, nanti malah kita tersesat, atau kita bisa-bisa ditangkap manusia"
"Jangan kuatir wak.." Kancil coba menjelaskan
"Kalau kita bersama-sama rombongan belum tentu kita hidup, coba bayangkan ! bukankah di rombongan kita banyak hewan yang kuat dan besar-besar.."
Luwak mendengarkan penjelasan Kancil dengan wajah bloon melongo
"Maksudmu ?" Luwak meminta penjelasan lebih detil
"Ah, bodohnya kau wak.." Kancil meneruskan penjelasannya
"Tentu saja kalau rombongan kita menemukan makanan, mereka yang kuat akan mendominasi, menguasai dan kita yang bertubuh kecil dan lemah mungkin hanya akan menerima sisa, bahkan bisa-bisa tidak dapat sama sekali.. lalu... kita akan ma..."
"ti..., setuju !" secara spontan Luwak menyahut
"Ok.. Ok, trus kita akan kemana mencari makanan sendiri? " protes si Luwak
"Mmmm.." Dengan tangan di dagu Kancil berpikir dengan gaya sok jenius
"Yeah, aku tahu" tiba-tiba Kancil melompat dengan tangan terkepal laykanya archimedes ketika menemukan teorinya dan berteriak "eureka !"
"Hoiii, jangan berisik tau, atau aku tendang kau" Gajah besar di depannya dalam rombongan merasa terganggu teriakan si Kancil dan si Luwak
"Maaf Kang Gajah..!" sahut Kancil
"Cil... apa rencanamu?" tanya Luwak setengah berbisik, karena tak ingin gajah besar di depannya menginjak atau mendepaknya karena terganggu bising obrolannya dengan si Kancil
"Sebulan yang lalu, ketika aku jalan-jalan di tepian hutan, aku melihat seorang manusia yang sedang mencari kayu.." Kancil mencoba menjelaskan lagi
"Apa hubungannya ?"
"Dasar bodoh, aku belum selesai ngomongnya"
"Begini, dari balik pohon aku mengintip bahwa manusia tadi berjalan pulang ke arah timur"
"Kurasa rumahnya ada di timur, tentunya banyak makanan di sana"
"Tentu saja rombongan kita ke selatan ini salah, kita tidak akan tahu kapan dapat makanan"
"Cilllll... apa aku tidak salah dengar? Kau mau mengajak ke rumah manusia, apa kau tidak gila, apa kau stress terus kamu mau mengajakku bunuh diri" Cerca Luwak dan tapak tangannya menyentuh dahi si Kancil, mengira barangkali kepala pernah terbentur batu atau kayu sehingga tiba-tiba berpikir gila atau jangan-jangan kena amnesia
"Santai wak, aku juga tahu kalau manusia pada malam hari itu tidur dan tidurnya pulas sekali" si Kancil meneruskan tesisnya tentang manusia sambil mengipatkan tangan si Luwak yang bertengger di dahinya
"Jadi, kau mengajakku mencuri seperti maling.."
"Tidak Cil, kita ini bukan bangsa maling, kita tidak seperti mereka yang suka mencuri hutan kita"
"Kita ini hewan beradab" dengan sok si Luwak berkelit karena merasa harga dirinya turun karena mencuri padahal sebenarnya dia takut dengan manusia
"Ayolah wak, kita tidak mencuri kok, kita cuma mengambil hak kita"
"Mereka mencuri hutan kita, sehingga makanan kita habis karena ulah mereka"
"Tidak ada salahnya kan, toh mereka belum memberi zakatnya untuk kita yang miskin ini" Kancil berpura-pura dengan wajah sedih agar rencananya diikuti
"Okelah, kapan kita berangkat?"
"Nah, begitu dong, kau benar-benar sahabat terbaikku" ucap Kancil seraya merangkul pundak Luwak
"Sebaiknya kita berpisah dari rombongan sekarang saja, sebentar lagi senja. Kita mulai berangkat mungkin setiba di rumah si manusia itu tengah malam nanti"
"Oke, berangkat !" Ajak si Luwak
Akhir, kedua hewan kecil itu meloncat meninggalkan rombongan. Dengan tertatih dan menahan lapar yang sudah dua hari tanpa makanan, mereka menuju ke arah timur. Mereka membayangkan lezatnya makanan seandainya telah sampai di tujuan. Kini mereka telah meninggalkan tepian hutan, melewati semak-belukar dan terkadang melompati sungai-sungai kecil yang mulai mengering. Terlihat dari jauh berkelap-kelip lampu teplok dan obor yang dipasang manusia di depan rumahnya untuk menerangi jalan-jalan desa. Kancil menunjuk ke arah datangnya cahaya itu, memberitahu Luwak di situlah manusia tinggal. Kancil dan Luwak semakin semangat melihat bahwa tujuannya tak terlalu jauh untuk ditempuh.
"Eh Cil, kukira bintang cuman ada di langit, ternyata manusia memeliharanya" Kata Luwak takjub
"Mmmm, kurasa mereka memang benar-benar bangsa yang kuat dan cerdas" Timpal Kancil
"Ayo, bergegas"
"Let's go"
Tepat ketika bulan di atas kepala, menunjukkan bahwa hari telah mencapai tengah malam. Keduanya telah sampai di perbatasan kampung manusia. Mereka merasa takjub, di sekitar kampung itu terlihat tumbuhan yang hijau segar tapi terlihat perdu seperti semak. Tidak seperti hutan yang selama ini mereka huni, terlihat kering dan panas.
"Oi, Cil ini apa...?" ketika Luwak menginjak tumbuhan kecil yang hanya terdiri daun-daun lebar berbentuk bulat seperti bolak sepak
"Ah, tak tahu lah, yang jelas itu salah satu makanan mereka" Jelas Kancil
"Baiklah, aku akan mengawasi dulu keadaan sebelum kita mencicipi tumbuhan makanan mereka. Jangan kemana-mana dulu"
Dengan berjingkat kaki, Kancil mendekati kampung dan mengawasi keadaan. Berputar-putar mengelilingi beberapa rumah di kampung kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah. Begitulah perkampungan di gunung yang jarak antar rumah satu dengan lainnya berjarak puluhah meter bahkan ratusan meter, tetapi terkadang 2-5 rumah berdekatan. Akhirnya, Kancil yakin bahwa manusia-manusia itu telah tertidur pulas dan tak terlihat seorangpun berkeliaran di jalanan yang sempit itu. Si Kancil pun kembali ke tempat Luwak menunggu.
"Bueeeeeeeh, weks...." Luwak memuntahkan sesuatu yang dikecapnya dan menyeburkannya keluar sehingga hampir-hampir mengenai wajah Kancil yang tiba-tiba menyembul dair kegelapan
"Tidak enak rasanya cil, ada yang lain tidak? aku lapar nih"
"Santai kawan, aku tadi menemukan beberapa tumbuhan yang kelihatannya enak"
"Bagaimana kau yakin?" tanya Luwak
"Tentu saja aku tahu, aku kan jenius. Mereka mengurungnya rapat-rapat dengan pagar, tentu itu barang yang enak dan sangat berharga bagi mereka"
"Hei, kau katakan di kurung pagar? bagaimana kita masuk"
"Jangan kuatir sobat, aku telah menemukan sebuah lubang kecil untuk kita masuk"
Keduanya mengendap-endap menuju tempat yang ditunjukkan Kancil, dan mereka menemukan sebuah ladang dengan buah sekepal tangan bergelantungan. Beberapa terlihat kuning dan yan lain merah merona, ada juga yang masih kecil terlihat berwarna hijau. Kancil memetik satu dan mulai mengerat dengan gigi-giginya yang kuat, kemudian terdiam membatu. Luwak merasa heran dan kuatir, jangan-jangan si Kancil keracunan. Luwak mencoba mengguncang-guncang tubuh si Kancil dan merasa takut sekali. Hi hi.. tiba-tiba si Kancil mengikik. Luwak hatinya mencelos lega, ternyata si Kancil cuman bercanda. Kancil negacungkan jempol kakinya ke arah Luwak mengisyaratkan bahwa buah yang dimakannya rasanya benar-benar lezat. Dan, tanpa sabar menunggu lagi si Luwak memtik sebuah dan mencoba mencicipi, hmmm lezat. Mengambil lagi sebiji, dua, tiga dan kini ditangannya sebonggol buah memebuhi dekapan tangannya. Karena tidak makan selama dua hari, mereka seperti buka puasa yang tiba-tiba memakan apapun yang mamu dijejalkan ke dalam mulutnya. Puas sudah perut si Kancil.
"Hei, Luwak sudah ayo kita kembali.. mereka segera bangun, liat langit fajar mulai memerah"
Kancil mengajak Luwak untuk kembali ke hutan
"Kita akan kembali besok lagi"
"Ah, tanggung baru juga sepuluh buah. Kita kan belum makan dua hari" Luwak menjawab dengan tangan-tangannya tetap menjejalkan buah-buah itu ke dalam mulutnya
"Kita kembali sekarang, jangan rakus, jangan kau teruskan, kita akan tertangkap manusia nanti"
Seakan tak nenghiraukan peringatan Kancil, Luwak masih saja melahap beberapa buah dan bahkan kini menggapai ke pohon lain yang masih lebat buahnya meninggalkan pohon yang sejak tadi dipetiki buahnya. Kancil berkali-kali mengomelinya dan menarik-narik lengan Luwak, akan tetapi Luwak tetap saja kukuh untuk memuaskan napsu makannya. Akhirnya fajarpun mulai tampak, langitpun mulai cerah.
"Uah... aku ngatuk Cil" Luwak menguap, rupanya dia kekenyangan perutnya tak seberapa lama hilanglah sudah kesadarannya. Kancil menyeret-nyeret tubuhnya untuk keluar dari kebun itu melewati pagar, tapi karena perutnya mengembung kekeyangan si Luwak tak bisa dikeluarkan.
Akhir dengan langkah gontai, akhirnya Kancil terpaksa meninggalkan Luwak sendirian di kebun. Ketika malam berikutnya Kancil masuk ke kampung itu. Dilihatnya kulit Luwak telah dijemur di belakang rumah salah satu manusia. Keserakahan, rakus dan memusakan nafsu tanpa batas seringkali menyebabkan kesengsaraan, penderitaan dan kehancuran. Dan kini Luwak telah merasakan apa yang diperbuatnya.
Tersebutlah dalam rombongan itu seekor kancil dan seekor Luwak yang keduanya adalah sahabat karib sejak kecil.
"Luwak.." panggil Kancil pada Luwak
"Ya, ada apa cil", sahutnya
"Kita mesti berpisah dari rombongan"
"Kenapa cil, nanti malah kita tersesat, atau kita bisa-bisa ditangkap manusia"
"Jangan kuatir wak.." Kancil coba menjelaskan
"Kalau kita bersama-sama rombongan belum tentu kita hidup, coba bayangkan ! bukankah di rombongan kita banyak hewan yang kuat dan besar-besar.."
Luwak mendengarkan penjelasan Kancil dengan wajah bloon melongo
"Maksudmu ?" Luwak meminta penjelasan lebih detil
"Ah, bodohnya kau wak.." Kancil meneruskan penjelasannya
"Tentu saja kalau rombongan kita menemukan makanan, mereka yang kuat akan mendominasi, menguasai dan kita yang bertubuh kecil dan lemah mungkin hanya akan menerima sisa, bahkan bisa-bisa tidak dapat sama sekali.. lalu... kita akan ma..."
"ti..., setuju !" secara spontan Luwak menyahut
"Ok.. Ok, trus kita akan kemana mencari makanan sendiri? " protes si Luwak
"Mmmm.." Dengan tangan di dagu Kancil berpikir dengan gaya sok jenius
"Yeah, aku tahu" tiba-tiba Kancil melompat dengan tangan terkepal laykanya archimedes ketika menemukan teorinya dan berteriak "eureka !"
"Hoiii, jangan berisik tau, atau aku tendang kau" Gajah besar di depannya dalam rombongan merasa terganggu teriakan si Kancil dan si Luwak
"Maaf Kang Gajah..!" sahut Kancil
"Cil... apa rencanamu?" tanya Luwak setengah berbisik, karena tak ingin gajah besar di depannya menginjak atau mendepaknya karena terganggu bising obrolannya dengan si Kancil
"Sebulan yang lalu, ketika aku jalan-jalan di tepian hutan, aku melihat seorang manusia yang sedang mencari kayu.." Kancil mencoba menjelaskan lagi
"Apa hubungannya ?"
"Dasar bodoh, aku belum selesai ngomongnya"
"Begini, dari balik pohon aku mengintip bahwa manusia tadi berjalan pulang ke arah timur"
"Kurasa rumahnya ada di timur, tentunya banyak makanan di sana"
"Tentu saja rombongan kita ke selatan ini salah, kita tidak akan tahu kapan dapat makanan"
"Cilllll... apa aku tidak salah dengar? Kau mau mengajak ke rumah manusia, apa kau tidak gila, apa kau stress terus kamu mau mengajakku bunuh diri" Cerca Luwak dan tapak tangannya menyentuh dahi si Kancil, mengira barangkali kepala pernah terbentur batu atau kayu sehingga tiba-tiba berpikir gila atau jangan-jangan kena amnesia
"Santai wak, aku juga tahu kalau manusia pada malam hari itu tidur dan tidurnya pulas sekali" si Kancil meneruskan tesisnya tentang manusia sambil mengipatkan tangan si Luwak yang bertengger di dahinya
"Jadi, kau mengajakku mencuri seperti maling.."
"Tidak Cil, kita ini bukan bangsa maling, kita tidak seperti mereka yang suka mencuri hutan kita"
"Kita ini hewan beradab" dengan sok si Luwak berkelit karena merasa harga dirinya turun karena mencuri padahal sebenarnya dia takut dengan manusia
"Ayolah wak, kita tidak mencuri kok, kita cuma mengambil hak kita"
"Mereka mencuri hutan kita, sehingga makanan kita habis karena ulah mereka"
"Tidak ada salahnya kan, toh mereka belum memberi zakatnya untuk kita yang miskin ini" Kancil berpura-pura dengan wajah sedih agar rencananya diikuti
"Okelah, kapan kita berangkat?"
"Nah, begitu dong, kau benar-benar sahabat terbaikku" ucap Kancil seraya merangkul pundak Luwak
"Sebaiknya kita berpisah dari rombongan sekarang saja, sebentar lagi senja. Kita mulai berangkat mungkin setiba di rumah si manusia itu tengah malam nanti"
"Oke, berangkat !" Ajak si Luwak
Akhir, kedua hewan kecil itu meloncat meninggalkan rombongan. Dengan tertatih dan menahan lapar yang sudah dua hari tanpa makanan, mereka menuju ke arah timur. Mereka membayangkan lezatnya makanan seandainya telah sampai di tujuan. Kini mereka telah meninggalkan tepian hutan, melewati semak-belukar dan terkadang melompati sungai-sungai kecil yang mulai mengering. Terlihat dari jauh berkelap-kelip lampu teplok dan obor yang dipasang manusia di depan rumahnya untuk menerangi jalan-jalan desa. Kancil menunjuk ke arah datangnya cahaya itu, memberitahu Luwak di situlah manusia tinggal. Kancil dan Luwak semakin semangat melihat bahwa tujuannya tak terlalu jauh untuk ditempuh.
"Eh Cil, kukira bintang cuman ada di langit, ternyata manusia memeliharanya" Kata Luwak takjub
"Mmmm, kurasa mereka memang benar-benar bangsa yang kuat dan cerdas" Timpal Kancil
"Ayo, bergegas"
"Let's go"
Tepat ketika bulan di atas kepala, menunjukkan bahwa hari telah mencapai tengah malam. Keduanya telah sampai di perbatasan kampung manusia. Mereka merasa takjub, di sekitar kampung itu terlihat tumbuhan yang hijau segar tapi terlihat perdu seperti semak. Tidak seperti hutan yang selama ini mereka huni, terlihat kering dan panas.
"Oi, Cil ini apa...?" ketika Luwak menginjak tumbuhan kecil yang hanya terdiri daun-daun lebar berbentuk bulat seperti bolak sepak
"Ah, tak tahu lah, yang jelas itu salah satu makanan mereka" Jelas Kancil
"Baiklah, aku akan mengawasi dulu keadaan sebelum kita mencicipi tumbuhan makanan mereka. Jangan kemana-mana dulu"
Dengan berjingkat kaki, Kancil mendekati kampung dan mengawasi keadaan. Berputar-putar mengelilingi beberapa rumah di kampung kecil yang hanya terdiri dari beberapa rumah. Begitulah perkampungan di gunung yang jarak antar rumah satu dengan lainnya berjarak puluhah meter bahkan ratusan meter, tetapi terkadang 2-5 rumah berdekatan. Akhirnya, Kancil yakin bahwa manusia-manusia itu telah tertidur pulas dan tak terlihat seorangpun berkeliaran di jalanan yang sempit itu. Si Kancil pun kembali ke tempat Luwak menunggu.
"Bueeeeeeeh, weks...." Luwak memuntahkan sesuatu yang dikecapnya dan menyeburkannya keluar sehingga hampir-hampir mengenai wajah Kancil yang tiba-tiba menyembul dair kegelapan
"Tidak enak rasanya cil, ada yang lain tidak? aku lapar nih"
"Santai kawan, aku tadi menemukan beberapa tumbuhan yang kelihatannya enak"
"Bagaimana kau yakin?" tanya Luwak
"Tentu saja aku tahu, aku kan jenius. Mereka mengurungnya rapat-rapat dengan pagar, tentu itu barang yang enak dan sangat berharga bagi mereka"
"Hei, kau katakan di kurung pagar? bagaimana kita masuk"
"Jangan kuatir sobat, aku telah menemukan sebuah lubang kecil untuk kita masuk"
Keduanya mengendap-endap menuju tempat yang ditunjukkan Kancil, dan mereka menemukan sebuah ladang dengan buah sekepal tangan bergelantungan. Beberapa terlihat kuning dan yan lain merah merona, ada juga yang masih kecil terlihat berwarna hijau. Kancil memetik satu dan mulai mengerat dengan gigi-giginya yang kuat, kemudian terdiam membatu. Luwak merasa heran dan kuatir, jangan-jangan si Kancil keracunan. Luwak mencoba mengguncang-guncang tubuh si Kancil dan merasa takut sekali. Hi hi.. tiba-tiba si Kancil mengikik. Luwak hatinya mencelos lega, ternyata si Kancil cuman bercanda. Kancil negacungkan jempol kakinya ke arah Luwak mengisyaratkan bahwa buah yang dimakannya rasanya benar-benar lezat. Dan, tanpa sabar menunggu lagi si Luwak memtik sebuah dan mencoba mencicipi, hmmm lezat. Mengambil lagi sebiji, dua, tiga dan kini ditangannya sebonggol buah memebuhi dekapan tangannya. Karena tidak makan selama dua hari, mereka seperti buka puasa yang tiba-tiba memakan apapun yang mamu dijejalkan ke dalam mulutnya. Puas sudah perut si Kancil.
"Hei, Luwak sudah ayo kita kembali.. mereka segera bangun, liat langit fajar mulai memerah"
Kancil mengajak Luwak untuk kembali ke hutan
"Kita akan kembali besok lagi"
"Ah, tanggung baru juga sepuluh buah. Kita kan belum makan dua hari" Luwak menjawab dengan tangan-tangannya tetap menjejalkan buah-buah itu ke dalam mulutnya
"Kita kembali sekarang, jangan rakus, jangan kau teruskan, kita akan tertangkap manusia nanti"
Seakan tak nenghiraukan peringatan Kancil, Luwak masih saja melahap beberapa buah dan bahkan kini menggapai ke pohon lain yang masih lebat buahnya meninggalkan pohon yang sejak tadi dipetiki buahnya. Kancil berkali-kali mengomelinya dan menarik-narik lengan Luwak, akan tetapi Luwak tetap saja kukuh untuk memuaskan napsu makannya. Akhirnya fajarpun mulai tampak, langitpun mulai cerah.
"Uah... aku ngatuk Cil" Luwak menguap, rupanya dia kekenyangan perutnya tak seberapa lama hilanglah sudah kesadarannya. Kancil menyeret-nyeret tubuhnya untuk keluar dari kebun itu melewati pagar, tapi karena perutnya mengembung kekeyangan si Luwak tak bisa dikeluarkan.
Akhir dengan langkah gontai, akhirnya Kancil terpaksa meninggalkan Luwak sendirian di kebun. Ketika malam berikutnya Kancil masuk ke kampung itu. Dilihatnya kulit Luwak telah dijemur di belakang rumah salah satu manusia. Keserakahan, rakus dan memusakan nafsu tanpa batas seringkali menyebabkan kesengsaraan, penderitaan dan kehancuran. Dan kini Luwak telah merasakan apa yang diperbuatnya.

![Validate my RSS feed [Valid RSS]](http://www.feedvalidator.org/images/valid-rss-jonathan.gif)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar